Senin, 30 Maret 2009

ANTARA JARUM JAM DAN JARUM KOMPAS

Dalam bukunya yang berjudul “First Things First”, Stephen R. Covey mengemukakan konsep yang sangat menarik. Buku ini saya baca pada tahun 1995, dan hingga saat ini masih terus saya temukan relevansinya.
Covey mengemukakan adanya dua jenis jarum penunjuk yang sangat mempengaruhi hidup kita. Yang satu adalah jarum jam, yang mengarahkan jadwal dan aktifitas kita, sehari-hari. Jadwal dan aktifitas yang mengisi agenda dan reminder di handphone kita. Contohnya: meeting yang harus dihadiri, deadline penyerahan tugas yang harus ditepati, janji pertemuan dengan seseorang, acara bersama keluarga, dan sebagainya.
JARUM JAM mewakili cara kita mengatur dan mengisi waktu kita dalam perjalanan hidup ini.
Jarum satunya lagi adalah jarum kompas, yang memberi petunjuk arah tujuan kita. Untuk mencapai tempat yang hendak kita tuju, bisa saja jalannya tidak mulus. Kadang kala, karena di hadapan kita terdapat tembok tinggi, kita butuh bantuan anak tangga, atau bahkan harus mengambil jalan melingkar. Apapun itu, selama masih memegang kompas di tangan, kita tidak akan tersesat, meskipun harus mengambil jalan melingkar. Bila kita lepaskan kompas dari tangan kita, atau bila jarum kompas sudah tidak lagi menunjukkan arah yang benar, maka kemungkinan besar kita akan tersesat.
JARUM KOMPAS mewakili visi, nilai-nilai, prinsip hidup, keyakinan, hati nurani, dan tujuan yang hendak kita raih. Ia mencerminkan apa yang kita anggap PENTING dalam hidup kita, yang akan mengarahkan keputusan-keputusan yang kita ambil dalam perjalanan hidup kita.
Bila perputaran jarum jam berjalan mendekati arah yang ditunjukkan jarum kompas, berarti kita menjalani hidup yang searah dengan nilai dan keyakinan kita. Hidup akan terasa indah. Kita akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan batin.
Masalah muncul bila terjadi kesenjangan pada kedua jarum tersebut. Ketika kita merasa apa yang kita lakukan tidak mendekatkan kita pada apa yang kita anggap penting dalam hidup ini. Ketika ada kesenjangan antara apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang secara nyata kita lakukan.
Ada baiknya bila kesadaran itu muncul dari awalnya. Namun yang seringkali terjadi, kesadaran itu muncul belakangan, ketika semuanya sudah terjadi. Ketika semua pencapaian sudah kita raih, kita tetap tidak menemukan kepuasan. Yang kita temukan adalah kehampaan dan rasa sepi.
Ibarat orang yang berusaha keras memanjat satu demi satu “anak tangga keberhasilan” (pendidikan, jabatan, kedudukan, penghargaan, dan kesuksesan keuangan), namun setelah mencapai anak tangga teratas, kita baru menyadari bahwa tangga itu bersandar pada ... dinding yang salah.
Seringkali dalam proses menaiki “anak tangga keberhasilan”, kita terlalu fokus pada salah satu aspek. Biasanya aspek karir/pekerjaan/keuangan. Memang tidak ada yang salah dengan ini. Tapi karir/pekerjaan/keuangan bukanlah satu-satunya aspek dalam hidup kita. Ada aspek keluarga, sosial (teman/lingkungan), religius, dan sebagainya. Fokus pada satu aspek dengan menelantarkan aspek yang lain akan membuat hidup kita tidak seimbang. Akibatnya, tidak jarang kita mendengar seorang sahabat curhat dengan mengatakan, “Kan saya seperti ini juga demi keluarga. Seharusnya mereka mengerti!.”
Hidup yang tidak seimbang justru akan mengerdilkan arti kemajuan yang berhasil kita raih di salah satu aspek, sebesar apapun itu. Di puncak keberhasilan itu, kita ternyata menemukan kehampaan dan rasa sepi. Saat itu baru kita sadari bahwa “anak tangga keberhasilan” yang telah kita naiki dengan susah payah, ternyata bersandar ... pada dinding yang salah.
Arti keberhasilan di salah satu aspek baru menjadi lengkap dengan kehadiran aspek kehidupan lainnya. Arti keberhasilan karir misalnya, justru kita rasakan ketika ada keluarga dan sahabat yang memberi selamat (secara tulus) dan ikut merasakan kebahagiaan yang kita rasakan. Dan perayaan itu diawali dengan ucapan syukur dan terima kasih dari dasar hati kita kepada Tuhan yang telah memungkinkan segalanya terjadi.
Hukum kehidupan itu sebetulnya sederhana. Hidup kita berarti karena adanya Tuhan dan kehadiran orang lain, berupa keluarga, sahabat, rekan kerja, karyawan, perusahaan, dan lingkungan tempat tinggal kita. Hidup kita berarti karena kita memberi arti dan nilai lebih bagi orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita.
Hendaknya kita mengisi perputaran jarum jam kita sehari-hari, tanpa melupakan arah yang telah ditunjuk oleh jarum kompas.
Salam Sukses,

Tidak ada komentar: